FMI 2025, Mengungkap Cerita Bulan dan Dendam Zaman Rau
Festival Musikal Indonesia (FMI) yang diadakan di Taman Ismail Marzuki baru-baru ini menghadirkan pertunjukan menarik dari Komunitas Bumi Bajra. Lakon berjudul “Hyang Ratih: Ode untuk Bulan, Perempuan, dan Semesta” terinspirasi dari mitologi Bali, memikat banyak penonton dengan kisah yang mendalam.
Kisah ini berfokus pada sosok Kala Rau, makhluk raksasa yang dikenal dengan sebutan buto. Konflik dalam cerita tersebut dimulai saat para dewa membagikan tirta keabadian, yang menjadi kunci untuk memperoleh kekuatan dan keabadian dalam dunia mitologi.
Kala Rau yang penuh ambisi menyelinap ke antara para dewa dengan menyamar, berharap bisa mengakses tirta keabadian. Namun, tindakan cerdiknya terdeteksi oleh Dewi Ratih, yang dikenal sebagai simbol bulan, sehingga memicu kemarahan para dewa.
Pertunjukan yang Terinspirasi dari Mitologi Bali
Pertunjukan ini tidak hanya memikat dalam cerita, tetapi juga dalam penampilan dan musik yang mendukungnya. Komposer utama, Ida Made Adnya Gentorang, menggambarkan bagaimana konflik berlanjut setelah penyamaran Kala Rau terungkap.
Dewi Ratih dan dewa lainnya marah, hingga Dewa Wisnu mengambil tindakan tegas dengan memenggal kepala Kala Rau. Momen tersebut menjadi salah satu yang paling dramatis dalam pertunjukan, menekankan tema kekecewaan dan dendam yang akan datang.
Setelah kehilangan tubuhnya namun masih tersisa kepalanya, Kala Rau bertekad untuk membalas dendam. Dia berusaha untuk mengonsumsi bulan sebagai simbol dari pencuri kehidupannya. Cerita ini dengan indah menggambarkan makna di balik gerhana bulan dalam budaya Bali.
Proses Kreatif dan Tantangan dalam Persiapan
Persiapan untuk pertunjukan ini bukanlah hal yang mudah. Meskipun hanya memiliki waktu seminggu untuk mempersiapkan segalanya, para anggota teater bekerja keras untuk memastikan bahwa pertunjukan ini berhasil. Pelatihan intensif selama tiga hari menggabungkan koreografi dan unsur musikalitas dengan efek yang menawan.
Bumi Bajra menekankan bahwa karya ini tidak dimaksudkan hanya untuk disampaikan dalam satu interpretasi. Mereka lebih memilih untuk memberikan keleluasaan kepada penonton untuk menafsirkan makna dan tujuan dari pertunjukan tersebut. Hal ini menciptakan pengalaman yang unik bagi setiap penonton yang menyaksikannya.
Kreativitas dan kebebasan interpretasi menjadi salah satu pilar dalam pementasan ini. Menurut Adnya, tidak ada jawaban tunggal tentang apa yang benar atau salah dalam narasi ini, dan itu membuat pertunjukan semakin kaya akan makna.
Pesan Tersirat di Balik Cerita “Hyang Ratih”
Di balik kisah Kala Rau dan Dewi Ratih, terdapat pesan yang mendalam mengenai ambisi dan akibat dari tindakan kita. Raha, sebagai simbol bulan, mewakili daya tarik dan keanggunan, tetapi juga bisa menjadi sumber konflik ketika satu pihak mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Konflik yang terjadi tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mencakup emosi dan psikologi yang mendalam. Pertunjukan ini mengajak penonton untuk merenungkan berbagai aspek kehidupan, termasuk ambisi kita dalam mengejar hal-hal yang dianggap berharga.
Dengan penggunaan mitologi yang kaya, pertunjukan ini merangkum nilai-nilai yang ada dalam budaya Bali. Melalui cerita yang sederhana namun signifikan, penonton diundang untuk menjelajahi makna kehidupan dan hubungan antar manusia.




